Resensi buku Hitler Bangkil Lagi karya Timur Vermes
Sayangi.com | Kamis, 18 September 2014 | Moh. Ilyas
Seorang sosok yang selama ini dikenal dengan kekejamannya, tiba-tiba hadir ke permukaan sebagai seorang romantis, yang hari-harinya diiringi dengan nostalgia masa lalu. Inilah yang terjadi pada Adolf Hitler dalam buku Hitler Bangkit Lagi ini.
Pada Musim Panas 2011, tepatnya di Kota Berlin, Jerman, Hitler tiba-tiba hidup lagi. Ia terdampar di sebidang tanah kosong. Ia tampak sehat. Namun segalanya telah berubah – tak ada Eva Braun, tak ada Nazi, tak ada perang. Hitler pun hampir tak mengenali tanah tercintanya yang penuh imigran dan dipimpin oleh seorang wanita.
Tak ada pikiran lain kala ia terbangun dari tidur panjangnya selama 65 tahun itu, melainkan hanya keheran-heranan. Ia melihat mobil yang lebih kecil dari yang dia lihat di masanya, namun terlihat lebih canggih. Ketika tatapan matanya mengarah pada rumah-rumah yang memiliki cat baru, dengan berbagai warna, tiba-tiba ia teringat pada gula-gula di masa kanak-kanak. Tak ada yang akrab dari lingkungan barunya tahun itu. Bahkan kepalanya pusing, mengingat semuanya terasa aneh, jauh dari jangakauan memori otaknya.
Begitu pun dengan orang-orang di sekitarnya. Ketika ia mengaku bahwa dirinya adalah Hitler, tak ada yang membenarkannya. Ia mencoba memberanikan diri bertanya kepada seorang perempuan tua tentang jalan menuju istana Kanselir Reich? Tapi orang tua itu malah meletakkan telunjuk ke kepalanya, tidak mengerti apa yang ditanyakan Hitler.
Namun Hitler masih sedikit berbangga. Salam Nazi di Berlin masih tetap bertahan, meski sudah tidak banyak orang melakukannya. Salam Nazi yang dilakukan dengan cara mengangkat kedua tangan, membengkokkan jari telunjuk dan jari tengah bersama, kemudian menyentakkannya ke atas dan ke bawah dua kali, membuatnya berpikir:
"Aku nyaris tak bisa membuat diriku menerima bahwa setelah 66 tahun hanya ini yang tersisa dari salah satu penghormatan Nazi yang dulu kaku itu. Ini merupakan kejuatan yang sangat dahsyat, namun juga sebuah tanda bahwa pengaruh politikku tidaklah lenyap sama sekali dalam tahun-tahun ini."
Teguh Pendirian
Usai bangun dari tidur panjangnya, Hitler “diselamatkan” oleh seorang penjual koran. Bersama dia, Hitler mulai sedikit memahami tentang dunia baru, dunia modern yang masih asing dalam pikirannya, yang selalu terngiang-ngiang tentang masa masa lalunya.
Kepada tukang koran, Hitler berkali-kali mengaku bahwa dirinya adalah Adolf Hitler, sang pemimpin Nazi yang dikenal dengan kekejamannya. Tetapi berkali-kali pengakuan itu, berkali-kali pula Si Tukang Koran mengabaikannya. Hitler pun tidak mau menuruti keinginan tukang koran itu untuk menanggalkan pakaiannya yang sudah lusuh di badannya. Hitler teguh dengan pendiriannya dan menegaskan bahwa menanggalkan pakaian adalah pengkhianatan terhadap rakyat Jerman.
Ia berujar, “Haruskah aku mengingkari kehidupanku, pekerjaanku, rakyatku? Kau tak boleh memintaku melakukannya. Aku akan terus mengenakan seragam ini hingga tetes darah terakhir tumpah. Aku tidak akan, seperti yang dilakukan brutus kepada Casar, melakukan tindakan pengkhianatan yang menyedihkan. Aku tidak akan menikam dari belakang untuk kedua kalinya mereka yang telah memberikan nyawa mereka untuk pergerakan.”
Meski pengakuan tentang identitas dirinya tak mendapatkan respon positif, namun hampir tak ada yang menampik dan menolak pikiran-pikiran bernasnya serta nostalgia tentang perang berikut strateginya dan tentang peristiwa di masa lalu. Pemikiran-pemikiran bernas itulah yang kemudian mengantarkannya tergabung dalam dunia pertelevisian.
Jika selama ini ia dikenal dengan revolusinya, meskipun menuai banyak kritik karena dilakukan dengan cara yang kejam, namun ia tetap berdiri tegak dalam pendiriannya. Ia tetap mengumandangkan bahwa Ini Jerman membutuhkan perubahan. Jerman membutuhkan sebuah revolusi. Ia memulai ide ini dengan meletakkan jiwa tanggung jawab dalam diri tiap individu di Jerman, selain pula kekuatan. Ia menegaskan perlunya sebuah kepemimpinan yang mengambil keputusan dan mempertahankannya dengan jiwa dan raga, dengan segalanya.
“Jika kalian ingin menyerang Rusia, kalian tidak bisa mengatakan, sebagaimana yang akan dikatakan kolega kalian: sebenarnya, kami semua memutuskan ini bersama-sama.” Jiwa tanggung jawab ini yang dikampanyekan oleh Hitler bersama tim yang kelak menjadikannya sebagai sosok populer melalui media televisi bahkan hingga youtube. Tidak hanya itu, baginya juga tidak ada yang lebih berbahaya bagi sebuah gerakan baru selain keberhasilan yang terlalu pesat.
Dalam perjalanan selanjutnya, ia menjadi populer dan menjadi perbincangan, termasuk bintang Youtube. Ia tampil di berbagai televisi dan komentar-komentarnya selalu ditunggu. Ia pun mampu meyakinkan banyak orang terhadap argumentasi-argumentasi dan pemikiran-pemikirannya, tapi tidak dengan identitasnya. Seribu kali dia mengaku Hitler, seribu kali juga penolakan atas pengakuan itu muncul. Tapi bukan Hitler namanya jika menyerah begitu saja. Ia tetap berusaha meyakinkan semua orang bahwa sosok yang hidup lagi itu benar-benar dia, Hitler.
Buku yang memiliki judul asli “Look Who’s Back” ini kaya sejarah, terutama yang bertalian dengan pengalaman dan pengetahuan sang Fuhrer, Hitler. Mulai dari soal musuh-musuh politiknya, pembantaian terhadap Yahudi, hingga strategi perang yang dituturkannya kepada khalayak, melalui televisi.
Kelebihan buku ini terletak pada bagaimana kekuatan imaji penulis dalam menampilkan sosok Hitler di era modern. Keterlibatan Hitler dalam kehidupan sehari-hari di era modern digambarkan seolah-olah begitu nyata terjadi. Penulis buku ini mampu menyandingkan Hitler yang kaya dengan kisah masa lalu, dengan dunia kemodernan yang serba canggih saat ini. Sinergitas kisah masa lalu dan hari ini menjadi nilai plus tersendiri. Kita yang menyukai tema-tema soal kepemimpinan, strategi perang maupun kondisi Jerman di bawah kendali Hitler, layak membaca buku ini. Selamat Membaca!