Ide Pemikiran Pluralisme Jefferson

Cetak

Resensi buku Kontroversi al-Quran Thomas Jefferson karya Denise A. Spellberg

Radar Surabaya | Minggu, 7 Desember 2014 | Abdul Aziz Musaihi


Pada 1765, sebelas tahun menjelang deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (AS), Thomas Jefferson membeli sebuah al-Quran. Rupanya, ini menandai awal dari minatnya yang panjang terhadap Islam. Setelah itu, ia terus mencari sejumlah buku tentang bahasa, sejarah, dan perkembangan Timur Tengah. Jefferson pun intensif memahami Islam meskipun hal itu dinilai menghina keimanannya, sebuah sentimen umum yang berlaku di kalangan Protestan kala itu di Inggris dan Amerika.

Tak disangka sejak 1776, Jefferson telah membayangkan kaum Muslim hidup dan tinggal sebagai warga negara Amerika di masa depan negerinya yang baru. Sebuah pandangan baru Jefferson yang menyajikan rumusan traktat toleransi dan kebebasan beragama.

Buku karya Denise A. Spellberg ini, menjadi bukti bahwa dulu para pendiri Amerika telah memiliki gagasan-gagasan toleransi agama, terutama pandangan tentang agama Islam. Di tengah kekerasan antar sekte Kristen di Eropa, beberapa penganut Kristen pada abad 16 menganggap Islam bukan sebagai agama melainkan paham palsu yang dibawa oleh Muhammad.

Meski pendiri Amerika sebagian besarnya adalah penganut Kristen protestan, namun ada segelintir pemimpin yang punya pemikiran plural. Tak dimungkiri, banyak orang sekarang akan merasa kaget gagasan tersebut muncul pada saat itu, namun telah banyak bukti menguatkan hal itu, sebagaimana ditulis Denise dalam catatan pribadinya Jefferson; “Tidak seorang pun dari kalangan Pagan maupun Muslim atau warga Yahudi boleh dikecualikan dari hak-hak sipil persemakmuran karena agamanya.” Di sinilah catatan Jefferson upaya pertama dalam negara baru tersebut untuk memikirkan hak-hak sipil Muslim maupun Yahudi.

Jefferson, karena pandangannya yang luas tentang kebebasan beragama dan kesetaraan politik, mengalami serangan berulang kali sebagai "kafir". Kata yang pada masanya berarti bukan sekadar tidak beriman, melainkan juga seorang Muslim.

Kendati demikian, meskipun Jefferson gigih memperjuangkan kesamaan hak sipil Muslim, dalam anggapan penulis, ia tak pernah tahu bahwa Muslim pertama Amerika adalah para budak dari Afrika Barat. Mereka tidak memperoleh kebebasan yang dikiranya berlaku universal. Pendiri negara Amerika itu mungkin saja memiliki budak Muslim, meski tak ada bukti pasti tentang hal itu. Namun tak diragukan lagi, bahwa Jefferson sejak awal membayangkan Muslim sebagai sesama tetangga di masa depan negaranya, sebuah ramalan yang sudah dapat dipastikan kebenarannya saat ini.

Selain Jefferson, ada beberapa dari mereka yang andil dalam menyuarakan hak-hak muslim, yaitu para pemrotes Presbiterian dan Baptis yang menentang penetapan agama resmi di Virginia; pengacara Anglikan James Iredell dan Samuel Johnston di Carolina Utara yang menuntut hak-hak muslim dalam konvensi ratifikasi konstitusi negara bagian; dan John Leland, pengkhotbah Baptis Evangelis sekaligus sekutu Jefferson dan Madison di Virginia yang mendukung kesetaraan muslim.

Ironisnya, hanya muslim yang sampai sekarang tetap menjadi objek dari wacana penghinaan dan marjinalisasi sipil, muslim masih dianggap di banyak wilayah sebagai sesuatu yang tidak sepenuhnya khas Amerika.

Buku ini mengungkapkan cerita penting yang sedikit diketahui tentang riwayat kebebasan agama di Amerika, sebuah drama di mana Islam memainkan peran mengejutkan. Denise menceritakan bagaimana para pendiri Amerika Serikat, terutama Jefferson, tertarik pada ide-ide pencerahan perihal toleransi Muslim untuk menciptakan landasan praktis pemerintahan Amerika yang tengah sengit diperdebatkan. Dalam hal ini, kaum Muslim, yang kala itu bahkan tak diketahui eksistensinya di koloni itu, menjadi batas imajinasi terjauh bagi pluralisme keagamaan Amerika, yang juga mencakup kaum Yahudi dan Katolik sebagai minoritas sebenarnya.

Kini, selagi kecurigaan Barat terhadap Islam terus hidup dan jumlah warga Muslim di Amerika kian tumbuh menjadi jutaan, cerita Denise yang mengungkap gagasan revolusioner para pendiri Amerika menjadi sangat penting diketahui. Di tengah menguatnya keyakinan tentang benturan peradaban antara Islam dan Barat, buku ini menjadi bacaan yang tepat untuk merajut kembali harapan akan perdamaian dunia.