Mimpi dan Keajaiban Hidup

Cetak

Resensi buku Keajaiban Mimpi karya Ace Starry

Radar Indonesia | Senin, 4 Mei 2015 | Al Mahfud

 

Perjalanan hidup seringkali membuat kita melupakan impian yang pernah dimiliki. Apa yang terjadi saat seseorang telah dewasa sering tak menggambarkan impian di kala muda. Kehidupan yang bergulir dengan sistemnya, membuat banyak orang larut dan hanyut. Impian masa muda menjadi sulit diwujudkan saat dihadapkan pada realitas kehidupan.

Ace Starry lewat novelnya yang berjudul asli The Magic Life dan hadir dalam bahasa Indonesia dengan judul Keajaiban Mimpi ini menghadirkan kisah tersebut. Seorang James Carpenter, akuntan muda yang sebenarnya sewaktu kecil memiliki kenangan indah tentang sulap. Ya, dia pernah bercita-cita menjadi seorang pesulap hebat dan terkenal.

Banyak kejadian-kejadian aneh yang dialami James. Berkali-kali ia merasa ditemui Maximillion Vi, pesulap hebat yang membuat James teringat kembali dengan kenangan sewaktu kecilnya tentang permainan sulap. Dalam setiap pertemuan dengan James, Max tak hanya menunjukkan keahliannya bermain sulap, namun ia juga banyak memberikan kata-kata filosifis berisi pesan penting tentang kehidupan. Misalnya kalimat, “kamu yang memilih, untuk menjadi apa dirimu (hlm 129). Kalimat tersebut seakan menjadi jantung cerita novel ini.

Kalimat itu muncul, awalnya saat James memikirkan pertanyaan Max, yakni “Apakah aku?”. Pertanyaan ini membuat James gelisah. Ia berfikir bahwa jika seseorang ditanya seorang apakah dirinya, pasti mereka akan menjawab pekerjaannya. Maka James berfikir bahwa ia adalah akuntan, karena pekerjaannya adalah akuntan. Namun, James kembali gelisah mengingat perkataan Max lainnya, bahwa untuk mempelajari dan meyakini apa saja yang ia inginkan, adalah pilihannya.

Berbeda dengan pertanyaan “Siapa Aku?” yang tak punya pilihan terhadapnya. Karena hanya perlu menyebutkan nama. Nama yang diberikan orang tua. Tapi pertanyaan “Apakah Aku” mengisyaratkan sikap dan pilihan hidup. Di titik inilah James merasa ragu bahwa ia hanya sekadar seorang akuntan. “Sungguh aku, seperti halnya Max, adalah juga seorang pesulap! Setidaknya aku bisa menampilkan beberapa trik,” kata James (hlm 139). Sejak saat itu, hari-hari James terus dibayangi Max, pesulap yang kerap muncul tiba-tiba, baik melalui mimpi maupun hadir di hadapannya.

Kata-kata yang paling ia ingat saat terbayang Max adalah “Kamulah orangnya!”. Kata-kata itu, dirasakan James menimbulkan semacam gelenyar dingin yang menjalar di sekujur tubuh. Gelenyar yang membuatnya merasakan energi positif, semangat hidup, kegirangan, ingatan-ingatan tentang cita-cita semasa kecil, namun di saat yang bersamaan juga terus memunculkan rasa penasaran. Rasa penasaran akan sosok Maxmillion Vi, pesulap misterius itu.

Tak hanya mengisahkan kegelisahan James akan sosok Maxmillion Vi. Di saat bersamaan, novel ini juga mengisahkan perasaan James yang mengidam-idamkan Gina, perempuan yang merupakan anak bosnya di kantor. Namun, bertahun-tahun mengenal Gina, James tak pernah berani mengungkapkan perasaannya. Ia tahu, mendekati Gina hanya akan membuat masalah dengan perusahaan, bahkan kemungkinan terburuk ia bisa saja kehilangan pekerjaan. Hal ini karena Pak Lee, bosnya, teramat menyayangi Gina, anaknya.

Cerita terus bergerak sampai akhirnya James “membebaskan” diri dan menjadi seorang pesulap. Seperti halnya prolognya, novel ini diakhiri dengan adegan menegangkan saat James melakukan beraksi memainkan trik sulap di hadapan para penonton. Ia memeragakan trik melepaskan diri dari jaket pengekang dengan digantung di udara (hlm 399-409). Meski menegangkan dan membuat penonton panik, akhirnya ia bisa melepaskan diri, tidak seperti yang terjadi di prolog, di mana James terjatuh dan gagal—meski itu hanya mimpi.

Ace Starry menghadirkan ending yang “mengena”. Ia menyuguhkan perkataan James di akhir kisah, bahwa “aku” atau James, tidak akan menggantung cerita sampai di adegan pelepasan diri dari jaket pengekang tersebut. Ace Starry seperti sengaja membuat pembaca menyadari sendiri apa yang hendak disampaikan. Ia menghadirkan adegan membahagiakan saat James berhasil terbebas dari jaket pengekang, disambut gemuruh tepuk tangan penonton, dan mendapatkan ucapan selamat dari orang-orang sekeliling yang ia sayangi dan menyayanginya; ibunya, istrinya, dan Carl adiknya. Adegan itu sudah cukup membuat pembaca tahu, bahwa keberanian dan kesungguhan mengejar impian akan menghadirkan kebahagiaan, baik bagi diri sendiri maupun orang sekitar.

Kisah penuh fantasi tokoh James, ditambah dengan kata-kata bijak yang beterbaran dalam halaman-halaman novel ini memberi kesimpulan pada pembaca akan pentingnya selalu menumbuhkan impian. Meski misalnya, sekarang kita sudah dalam keadaan yang nyaman (comfort zone), namun tetap menghidupkan impian yang pernah tumbuh di masa silam tetaplah penting untuk kebahagiaan yang lebih sempurna. Namun sungguh, dibutuhkan keberanian, tekat kuat untuk melakukannya, karena keluar dari zona nyaman bukanlah pekerjaan gampang.