Resensi buku panduan Pulau Run: Magnet Rempah-rempah Nusantara yang Ditukar dengan Manhattan karya Giles Milton
Jawa Pos | Minggu, 20 September 2015 | Lubabun Ni’am
Penulisan naratif yang ditunjukkan Giles Milton mungkin adalah satu-satunya pujian yang bisa dialamatkan untuk buku ini. Milton gagal membangkitkan nalar kritis pembaca.
SEBELUM buku Giles Milton ini terbit dalam bahasa Indonesia, publikasi edisi Inggris-nva menuai kritik. Pada 1999, buku ini hadir dengan judul Nathaniel’s Nutmeg: How One Man’s Courage Changed the Course of History.
Nathaniel adalah nama bagi seorang Inggris yang mempertahankan Pulau Run, pulau paling barat dalam gugusan Kepulauan Banda, dari kepungan Belanda. Dia menginjakkan kaki di sana pada 23 Desember 1616.
Ketika itu Inggris sedang berada pada periode paling berdarah dalam perebutan Kepulauan Banda yang penuh rempah-rempah. Dengan persediaan roti dan buah-buahan yang terbatas, disusul sejumlah orang yang membelot, Nathaniel memberikan perlawanan sebelum kalah setelah 1.540 hari.
Bagi Milton, Nathaniel adalah seorang pahlawan. Meski nasibnya berakhir tragis (dia dibunuh di haluan kapal Belanda), kehadiran Nathaniel di Pulau Run mendapat dukungan penduduk setempat.
“Dukungan” - yang menurut versi orang-orang Inggris dituangkan secara tertulis- itulah yang dianggap Inggris sebagai alat sah kepemilikan mereka atas Pulau Run. Sejarah Inggris, kata Milton, tidak pernah memberikan tempat yang baik dan layak atas jasa Nathaniel.
Tapi, Milton hanya menceritakan kisah Nathaniel sepanjang kurang dari 10 persen tebal buku ini. Di titik itulah, kritik atas buku ini dilayangkan. Pada 83 halaman berikutnya, buku ini tiba pada halaman terakhir. Kritik atas buku ini tidak henti sampai di situ.
Giles Milton, seorang Inggris, memang merupakan pencerita ulung. Dia melukiskan rentetan pelayaran bangsa bangsa Eropa ke berbagai sudut Bumi sekitar empat abad lalu bukan dengan data-data kering. Dia menghidupkan nuansa.
Nuansa yang dibalut insiden. Perang laut dan pertarungan jarak dekat di antara kapal-kapal Spanyol, Portugis, serta terutama Inggris dan Belanda, tampil naratif.
Untuk keperluan tersebut, dia tidak hanya bersandar pada buku-buku terdahulu tentang berbagai ekspedisi menuju Kepulauan Rempah-Rempah. Namun, Milton juga menelusuri catatan-catatan harian, dokumen, dan surat-surat para penjelajah. Persis di situlah, menurut saya, letak kritik berikutnya patut diarahkan. Politik acuan yang bias Barat melindas sudut pandang pribumi.
Karena itu, ketika buku ini disajikan kepada pembaca Indonesia dengan judul baru yang sama sekali berbeda dengan judul asli buku, yakni menjadi Pulau Run: Magnet Rempah-Rempah Nusantara yang Ditukar dengan Manhattan, tampak ada upaya mengubah sudut pandang.
Bagi saya, ini bukan hanya perkara memosisikan buku ketengah alam pikir pembaca yang dimau. Memang, nama Nathaniel, yang bagi Milton adalah pahlawan kecil bagi sejarah negaranya, di hadapan pembaca Indonesia tidaklah relevan untuk ditonjolkan. Toh, kisahnya tidak memperoleh porsi besar.
Tapi, judul yang ada justru memberikan gambaran yang menyesatkan pembaca. Buku ini meminjam Pulau Run, namun tidak sedang membahas Pulau Run sebagai inti pembicaraan. Milton, menurut saya, hanya punya misi menyelinap dari satu lubang kecil di tengah sejarah persaingan perdagangan rempah- rempah antara Inggris dan Belanda.
Karena itulah, dia merasa perlu menyusun sembilan bagian bukunya untuk mengantar kita ke pertukaran antara Pulau Run dan Manhattan pada bagian ke-10. Dia berpanjang lebar menyusun kisah Belanda memonopoli perdagangan rempah-rempah dunia. Termasuk juga bagaimana Belanda membantai orang-orang Inggris yang tersisa di Kepulauan Banda, terutama di Ambon, secara keji. Jan Pieterszoon Coen dikenang orang-orang Inggris sebagai orang Belanda paling keji.
Inggris marah. Mereka bergerak merebut Manhattan (kini New York City), salah satu tanah subur yang diduduki para penjelajah Eropa dan telah dihuni orang-orang Belanda, kemudian memberanikan mereka untuk menuntut Belanda atas tindakan keji terhadap orang Inggris dan perampasan Pulau Run.
Akhirnva, perundingan berlarat-larat di antara kedua pihak memutuskan bahwa perebutan Manhattan adalah imbalan yang pantas atas perampasan Pulau Run. Di sini jasa Nathaniel dikuatkan. Milton mempromosikannya. Dia butuh tokoh cerita.
Alhasil, dengan perpaduan antara tokoh cerita dan plot tersebut, Milton bisa memberikan aftertaste berupa rasa senang bagi pembaca. Di tengah belantara buku sejarah dan sejarah tanah air yang sejauh ini beredar di Indonesia, kesan itu memberikan tempat tersendiri bagi sang penulis.
Milton menyusul nama besar lain seperti Simon Winchester yang bukunya mengenai letusan Gunung Krakatau lebih dulu terbit. Selain itu, sebagai tambahan bandingan saja: buku ini lebih cepat dibaca tuntas bila dibandingkan dengan buku Jack Turner yang berjudul Sejarah Rempah: Dari Erotisme sampai Imperialisme. Turner lebih kaya dalam hal kedalaman data.
Jadi, penulisan naratif yang ditunjukkan Milton dalam buku ini mungkin adalah satu-satunya pujian yang bisa dialamatkan atas buku ini. Kecuali Anda orang Inggris, Anda akan sedikit mengingat Nathaniel. Di luar itu, Milton mesti menanggalkan tugas moral sebuah buku: membangkitkan nalar kritis pembaca.
Ini lebih krusial bagi pembaca Indonesia, negara yang lahir dari sejarah kolonialisme berabad-abad. Banyak peneliti yang telah menegaskan bahwa sejarah perdagangan komoditas global, mulai rempah-rempah hingga saat ini menyasar hampir semua komoditas alam, adalah sejarah konsentrasi keuntungan, proletarianisasi, dan deagrarianisasi. Kecuali tidak ingin membebani sebuah buku, kita bisa beroleh rasa senang.