Mengurai Kompleksitas Problem Pendidikan

Cetak

Resensi buku Potret Pendidikan Kita karya Ahmad Baedhowi, dkk.

Riau Pos | Minggu, 4 Oktober 2015 | Al-Mahfud

 

Tahun ajaran baru kembali tiba. Orang tua berbondong-bondong menyekolahkan anak ke sekolah-sekolah. Dari yang sekolah swasta sampai yang negeri. Mulai dari sekolah biasa sampai sekolah paling favorit. Sekolah masih dipercaya menjadi penentu nasib. Mereka ingin nasib anak-anak lebih baik dengan memberi pendidikan yang layak lewat sekolah. Pendidikan yang didamba mampu membawa anak menuju kesuksesan dan masa depan yang cerah.

Sayangnya,  kualitas pendidikan kita rendah, bahkan jika dibandingkan negara-negara Asean. Hal ini, terlihat dari laporan UNESCO (EFA Report 2007) yang menurunkan posisi Indonesia dalam peringkat indeks pendidikan EFA Development Index (EDI) dari posisi 58 ke 62 dari 130 negara. Lagi, data indeks pembangunan manusia Indonesia (HDI) juga berada pada peringkat bawah dibanding negara ASEAN. Yakni pada urutan 102 (tahun 2002), 111 (2004), 110 (2005) dan sekarang 107. Semantara negara ASEAN lainnya, Sri Lanka (99), Filipina (90), Thailand (78), Malaysia (63).

Data tersebut cukup menjelaskan sistem pendidikan kita belum mampu melahirkan sumber daya manusia (SDM) berdaya saing unggul. Padahal, jelas bahwa modal utama menghadapi tuntutan zaman adalah pendidikan. Melalui buku yang ditulis Ahmad Bedhowi dan kawan-kawan ini, kita didedahkan seabrek data yang menjelaskan potret pendidikan saat ini yang belum menunjukkan kemajuan signifikan. Bahkan, berbagai masalah klasik masih menjadi persoalan yang belum tertangankan.

Masalah pendidikan begitu kompleks. Mulai dari sistem pendidikan yang masih terasa sentralistik di pusat, hingga berbagai masalah klasik; kompetensi guru rendah, prasarana belum memadai, hingga tindakan kekerasan yang marak terjadi di kalangan siswa. Di samping itu, dalam pelaksanaannya, pendidikan kita masih dibelenggu sistem pembelajaran yang kurang mengakomodasi keberagaman skill siswa. Model pembelajaran masih bersandar pada rote learning dan drilling yang menyebabkan siswa miskin kemampuan menganalisis masalah.

Berbagai permasalahan tersebut, dalam buku ini diurai dengan bekal pengalaman mengajar dan mengelola sekolah, terutama Sekolah Sukma Bangsa, yang dirintis oleh Yayasan Sukma untuk anak-anak Aceh pasca Tsunami. Pengalaman dijadikan modal menyampaikan pandangan yang kaya inspirasi. Pandangan dari para ahli, pengamat, psikolog pendidikan, sampai praktisi lapangan, seperti guru dan kepala sekolah, dituangkan lewat berbagai artikel menarik.

Karena para penulis berlatarbelakang berbeda, buku ini kaya sudut pandang dalam memandang persoalan pendidikan. Tema-tema tentang mutu pendidikan, menejemen sekolah efektif, pendidikan karakter, pengembangan kapasistas guru, sampai pada bagaimana menciptakan suasana sekolah yang nyaman dan damai (anti kekerasan), menjadikan ulasan menjadikan ulasan menjadi kompresensif dari tingkat konsep sampai praktis dan kaya sudut padang dalam mencari solusi terkait masalah pendidikan yang kompleks.

Misalnya, terkait pembelajaran yang monoton dan kering penyemaian sisi afektif dan psiokomotorik anak, pendekatan yang mementingkan imajinasi menjadi solusi yang bisa diajukan. Produk pendidikan yang hanya pintar menghafal tanpa kratifitas dan kemampuan memecahkan masalah, mengindikasikan lemahnya imajinasi anak. Untuk membentuk anak menjadi pribadi yang kreatif, imajinasi merupakan kunci.

Dalam hal ini, seorang guru dituntut mampu menciptakan pembelajaran yang berkualitas demi memantik kreatifitas dan menghidupkan ruang imajinasi anak. Konkretnya, hal itu dimulai dari menemukan konteks suatu materi sekaligus memuaskan keingintahuan siswa, dengan metode yang tepat, sampai akhirnya siswa mampu memecahkan masalah-masalah kesehariannya sendiri (hlm 226-227).  Pada titik ini, jelas terlihat kreatifitas guru dalam mendidik siswa menjadi pertaruhan; menjadi pendamping yang mengembangkannya atau jusru menjadi pengekang dan menutupinya (baca; imajinasi dan kreatifitas).

Dalam konteks kekerasan yang belakangan marak di lingkungan pendidikan, sekolah dituntut mampu menjadi wadah penyemaian nilai-nilai kasih sayang agar menjadi karakter yang melekat dalam diri siswa. Karakter itu hanya terbentuk jika kondisi sosial sekolah bernuansa kekeluargaan; menghargai perbedaan, sopan santun dan memaafkan. Dan semua itu harus ditunjukkan oleh guru terlebih dahulu, agar siswa meniru. Warga sekolah harus ada dalam suasana damai, saling mengasihi dan sadar peran masing-masing untuk menekan keegoisan dan konflik yang bisa memantik berbagai tindak kekerasan.

Pengalaman di lapangan yang diramu dengan teori-teori pendidikan, menjadikan tulisan-tulisan dalam buku ini penting untuk dibaca, baik oleh guru, pegambil kebijakan, bahkan masyarakat awam yang ingin memahami keadaan pendidikan kita, masalah, sekaligus pemecahannya. Masing-masing ulasan menawarkan pengalaman dan sudut pandang berbeda dalam menyikapi kompleksitas persoalan pendidikan kita. Apa yang dituangkan para penulis dalam buku ini dapat menjadi masukan dan inspirasi dalam upaya memajukan pendidikan kita saat ini.