Resensi buku Potret Pendidikan Kita karya Ahmad Baedhowi, dkk.
Koran Jakarta | Rabu, 21 Oktober 2015 | Muhammad Khambali
Barangkali pendidikan nasional hari ini seperti benang kusut yang sulit diurai untuk menemukan simpul perbaikan. Buku Potret Pendidikan Kita mengajak pembaca melihat sengkarut isu-isu dan persoalan pendidikan.
Buku dibuka dengan mengurai persoalan Ujian Nasional (UN) yang saat ini memang sudah tak menjadi penentu tunggal kelulusan dan evaluasi. Namun karena belum dihapus, UN masih meninggalkan polemik dan disorientasi tujuan pendidikan. Esai Adilkah UN, Adilkah Kita mencoba mengajukan sistem evaluasi yang menggunakan pendekatan peformance assessment (hal 33-35).
UN hanyalah salah satu instrumen evaluasi. Asesmen lebih luas dari sekadar evaluasi dibutuhkan untuk melihat sekaligus menguji kompetensi murid dalam mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan untuk mengatasi masalah sekitar mereka.
Performance assessment dapat dilakukan dengan memberi berbagai tugas eksperimental, portofolio, dan menulis. Sementara UN memukul rata kemampuan setiap murid. Peformance asessment justru melihat bahwa setiap individu unik, sehingga perlu evaluasi pembelajaran secara pribadi yang tidak hanya melihat kekurangan, tetapi juga kelebihan, potensi, dan minat siswa. Performance assessment memahami keberagaman (inklusif) setiap anak.
Pendidikan inklusif, selalu bersandarkan pada asas keunikan, keberagaman, dan keadilan dengan adanya akses yang sama untuk semua dalam pendidikan. Sayang, cara pandang pendidikan masih mengabaikan keberagaman.
Praksis pendidikan dengan kesadaran inklusif masih sebatas wacana besar, minim kemauan politik yang sungguh-sungguh. Esai Pendidikan Inklusi: Antara Cita dan Fakta menyoroti proses pelaksanaan pendidikan inklusi. Anak-anak dengan kebutuhan khusus seperti autis, downsyndrome, dan tunanetra masih sulit mendapat sekolah inklusi. Banyak sekolah reguler yang menolak mereka (hal 71-72).
Pada bab lain, buku mengulas nasib perpustakaan yang terbengkalai karena minim buku, fasilitas, dan pendanaan. Ini ditambah minat baca para pelajar dan masyarakat yang rendah. Untuk mengatasinya bisa ditempuh model digitalisasi perpustakaan.
Kekerasan guru juga menjadi sorotan. Banyak kasus kekerasan atau bullying secara verbal, fisik, maupun simbolis yang dilakukan guru. Ada semacam mitos yang menganggap kekerasan bisa menjadikan seorang guru terlihat berwibawa. Seolah hanya dengan kekerasan, murid mau mendengarkan, takut, dan menaruh hormat (hal 170-173).
Tulisan-tulisan buku ini menggambarkan wajah pendidikan nasional terkait politik pendidikan, budaya, dan konflik di sekolah. Ini termasuk juga persoalan guru dan inspirasi pembelajaran. Sebagai sebuah tulisan bunga rampai, Potret Pendidikan Kita seperti almanak yang mencatat berbagai isu menarik sekaligus masalah dalam pendidikan.