Begini Caranya Menyeimbangkan Hidup untuk Bahagia

Resensi buku Hidup Seimbang Hidup Bahagia karya AkhirudinDC

Wasathon.com | Selasa, 5 Januari 2016 | Lusiana Dewi

 

Kebahagiaan adalah sebuah status yang ingin dicapai oleh setiap manusia. Kebahagiaan banyak dijadikan tujuan hidup. Tidak ada manusia yang mau hidup dalam kesengsaraan meskipun kesengsaraan itu pasti dialami untuk mencapai kebahagiaan. Bukankah pepatah mengatakan, “Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian?"

Pepatah yang bijak itu menyiratkan bahwa bersenang-senang (baca: kebahagiaan) itu harus dilakukan dengan penuh keprihatinan, usaha serta doa, keteguhan, dan kesungguhan tekad untuk mencapai kebahagiaan. Tidak jarang bahwa jalan tersebut membuat seseorang harus bersakit-sakit (sengsara) terlebih dahulu. Entah bagaimana kebahagiaan itu mewujud—karena kebahagiaan adalah subjektif—banyak orang menginginkan hidup bahagia.

Hanya saja, dalam hidup ini dibutuhkan keseimbangan. Hidup yang seimbang adalah hidup yang bahagia. Hal itulah yang disimpulkan oleh Akhirudin DC, MA dalam bukunya yang berjudul “Hidup Seimbang Hidup Bahagia”. Buku tersebut merupakan serangkaian motivasi untuk meraih kebahagiaan dengan menyeimbangkan kehidupan.

Hidup seimbang berarti hidup dengan menjaga dua bentuk keseimbangan, yakni keseimbangan internal dan eksternal. Keseimbangan internal adalah keseimbangan dalam memenuhi hak dari diri sendiri. Diri kita memiliki empat dimensi; fisik, semosional, mental, dan spiritual. Masing-masing dimensi perlu dilayani haknya agar diri seimbang. (hlm. 17).

Sementara itu, keseimbangan eksternal adalah keseimbangan dalam memenuhi hak orang-orang di sekitar kita. Kita sudah mengetahui bahwa setiap orang pasti memiliki beberapa peran yang berbeda dalam hidupnya. Orang yang hidupnya seimbang melayani semua peran dalam hidupnya dengan baik. Artinya, ia memenuhi semua hak dari setiap peran hidupnya. (hlm. 17 – 18).

Dengan demikian, keseimbangan dalam hidup adalah memenuhi hak diri sendiri. Akan tetapi, tidak melalaikan bahwa diri sendiri tersebut juga hidup bersosial dengan orang-orang di sekitar. Artinya, egoisme tidak boleh diutamakan. Kita berhak memenuhi kepentingan dan kebutuhan diri sendiri, tetapi tidaklah harus mengorbankan orang lain untuk memenuhi tersebut karena pada dasarnya hal itu tidak seimbang.

Secara umum, keseimbangan dapat kita pahami sebagai posisi tegak di tengah antara dua hal, yang kedua hal tersebut sama atau hampir sama sehingga tidak cenderung ke salah satu di antara kedua hal tersebut. Seimbang juga berarti sebanding, sepadan, atau kesamaan. (hlm. 19).

Oleh karenanya, keseimbangan tidak melulu pada satu hal yang disukai. Lebih dari itu, keseimbangan itu berdiri tegak di tengah untuk mengakomodasi segalanya melalui tengah-tengah. Hanya saja, banyak dari manusia yang hanya cenderung untuk memenuhi hak individunya sendiri (egosentris), padahal kebahagiaan itu tidak didapatkan dari kesendirian. Kebahagiaan bisa datang dari orang lain yang ada di sekitar kita.

Tentu saja bahwa keseimbangan tersebut menjadi kunci dari kebahagiaan hidup lantaran pemenuhan kebutuhan antara dua hal atau lebih itu selaras. Bisa saja seseorang itu sukses secara individual, tetapi tidak bahagia secara sosial karena tidak mempunyai lawan bicara (teman) untuk menumpahkan segala curahan hati.

Kehidupan individu di dalam hubungan sosial memang tidak perlu kehilangan identitasnya. Sebab, kehidupan sosial adalah realitas sama riilnya dengan kehidupan individu itu sendiri. Individualitas itu dalam perkembangan selanjutnya akan mencapai kesadaran sosial. Setiap manuia akan sadar perlunya hidup bersama segera setelah masa kanak-kanak yang egosentris berakhir. Hal tersebut menunjukkan tentang keseimbangan hidup seseorang dalam masyarakat. (hlm. 69 – 70).

Dengan begitu, selaraslah prinsip hidup seimbang itu dengan apa yang pernah dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib, bahwa sebaik-baik sesuatu adalah di tengah-tengah. Maksudnya, untuk segala sesuatu itu kita tidak perlu berlebihan. Namun demikian, kekurangan juga harus kita hindari. Kesimpulannya, tidak berlebihan dan tidak kekurangan itu menjadi landasan keseimbangan.

Ibarat masakan, setiap bumbu itu harus proporsional. Bukankah memberikan garam secara berlebihan malah akan berakhir keasinan dan masakan menjadi tidak enak? Pun begitu juga dengan merica atau cabai yang ditaburkan secara berlebihan. Maka masakan akan menjadi terlalu pedas. Jika kurang garam pun masakan terasa tidak nikmat. Begitu juga jika merica atau cabai itu hanya dibubuhkan sedikit, maka masakan tersebut terasa kurang menendang.

Sikap seimbang memiliki beberapa makna yang sejalan dengan sikap pertengahan, tawazun, dan beberapa istilah senada lainnya. Konsep keseimbangan adalah paham yang menetapkan sikap tidak berlebihan dan tidak kekurangan dalam segala aspek kehidupan manusia di alam semesta ini yang merupakan sikap yang terbaik, karena ia dapat meletakkan sesuatu pada tempatnya dan sesuai dengan porsinya (proporsional). (hlm. 153).

Akhirnya, dengan membaca buku setebal 176 halaman ini, para pembaca diajak untuk meletakkan segala sesuatu dalam aspek kehidupan secara seimbang. Posisi yang seimbang tersebut merupakan kunci kebahagiaan. Banyak hal di dunia ini diciptakan secara berpasangan. Ada kehidupan dunia, maka ada kehidupan akhirat. Ada kehidupan secara individu, maka ada pula kehidupan secara sosial. Jika ingin bahagia, maka yang berpasangan itu harus disikapi secara seimbang.

 

System.String[]