Memanfaatkan Kisah-Kisah Inspiratif sebagai Peneguh Iman

Resensi Buku Si Markum dan Kisah-kisah Peneguh Iman Karya Zaenal Radar T.

Kabar Madura | Rabu, 22 November 2017 | Izzatul Maula Shalehah

 

Akhir-akhir ini, pola kesukaan keterbacaan generasi Indonesia rupanya mengalami perubahan cukup signifikan. Jika generasi saya yang lahir tahun 1980-an mempunyai kecenderungan membaca buku-buku ilmiah dan sastra yang cukup serius, maka generasi milenia kini cenderung meninggalkan buku-buku serius dan beralih pada kisah-kisah ringan namun tetap penuh gugah. Disinyalir, perubahan alur keterbacaan tersebut karena dipengaruhi oleh kondisi zaman yang penuh teknologi cyber, lebih-lebih hadirnya situs-situs keterbacaan yang membantu memudahkan mengakses literasi sesuai selera mereka, walau cara ini membikin pola pikir menjadi instan.

Fenomena di atas ternyata disikapi dengan sigap oleh penulis-penulis buku dan penerbit-penerbit di negeri ini. Lihat saja di gerai-gerai buku terkenal tanah air, stok buku yang berjejer di situ sebagian besar adalah buku-buku kisah penuh inspiratif yang selalu menggugah jiwa pembacanya. Dan tentus saja, selalu mencapai best seller.

Tanpa disadari, peralihan pola baca tersebut telah mengangkat konten keterbacaan yang berisi sejarah pada kondisi yang cukup mendalam. Tahap inilah, sejarah mempunyai minat tersendiri tanpa harus berkutat dengan pembelajaran dalam kelas yang terkadang bikin dongkol peserta didik. Dan secara bertahap pula, ibroh-ibroh dalam al-Qur’an, yang dengannya al-Qur’an berisi konten terbesar, mulai menjadi menu keterbacaan menghibur yang pengaruhnya begitu kuat dalam era ini. Tentus saja, hal ini akan berdampak positif untuk generasi digital, yang bisa meneguhkan iman labil mereka.

Suksesnya buku-buku kisah inspiratif mencapai pangsa pasar pada generasi milenia, telah menyebabkan buku-buku jenis ini laris manis. Apalagi, sang penulis dan penerbitnya, mengemas kisah-kisah tersebut dalam bentuk novel atau cerpen, sehingga generasi ini telah terbantu mencintai dunia sastra, walau dengan aliran tersendiri, yaitu sastra beraliran tasawuf, yang menekankan pada ketergugahan jiwa-jiwa pembacanya. Rupanya, kelekar Prof. Robert T. Kiyosaki, yang mengatakan bahwa cerita atau kisah itu adalah daya ungkit, telah dipahami secara baik oleh para penulis dan penerbit, sehingga berbondong-bondong menulis dan menerbitkan berbagai kisah penuh inspiratif itu.

Dalam hal ikut menyemarakkan buku-buku penuh kisah menarik yang sedang bomming tersebut, seorang penulis cerpen terkenal secara nasional, ikut menyuguhkan ide-ide kreatifnya untuk dinikmati bersama. Inilah buku ‘Si Markum dan Kisah-Kisah Peneguh Iman’ hadir di tengah kita. Buku karya Zaenal Radar T. ini mengelaborasi berbagai kisah bersumber pada nilai-nilai agama secara menarik yang dikemas secara fiktif dalam bentuk cerita pendek.

Buku ini dibagi dalam dua shaf, demikian penulis menamakannya. Shaf pertama, berisi 17 kisah berlandaskan pada nilai-nilai agama Islam yang sangat kental, baik secara akidah, syariah dan tasawuf/akhlak. Adapun shaf kedua, berisi 17 kisah inspiratif, plot dan setting cerita berupa kritik sosial dan perilaku sosial lainnya, namun nuansa keagamannya tetap kuat. Maka wajar, Zaenal mengatakan bahwa bukunya dapat meneguhkan iman pembacanya, sebab ke-34 cerita yang ada dalam buku ini memang sangat menggugah jiwa orang-orang yang haus akan keimanan itu sendiri.

Suatu misal, dalam shaf pertama, Zaenal menulis cerita dengan judul ‘Markum Mengejar Laitaul Qadar’ (hal. 108). Digambarkan betapa si Markum ingin sekali bertemu dengan malam seribu bulan itu. Berbagai upaya telah Markum siapkan, namun setelah beri’tikaf di masjid Markum malah ngorok, tertidur. Markum sedih tak bertemu malam yang paling mulai itu. Namun, ia tak mudah putus asa, di malam 27 Ramadhan ia beri’tikaf lagi. Kali ini ia tak tertidur, namun tiba-tiba listrik PLN mati. Dalam kegelapan malam, ia khusu’ berdoa minta apa saja selagi ia ingat. Ia ingin menguji betul keampuhan lailatul qadar tersebut (hal. 113-114).

Dalam shaf kedua, Zaenal menulis kisah dengan judul ‘Pernikahan Ibu’ (hal. 269). Kisah ini menggelitik sebab sang ibu yang mau menikah itu telah berusia senja. Mempunyai sebelas cucu, bahkan beberapa anaknya telah memiliki menantu (hal. 271). Namun, karena alasan sang ibu merasa kesepian hidup menjanda seorang diri, akhirnya sang ibu tetap ngotot mau menikah lagi. Akan tetapi, di alur cerita terakhir, sang ibu sebenarnya mau bikin kejutan pada anak bungsunya yang sampai menjelang umur 30 tahun masih tak ada kaum lelaki mendekat hal. 278). Artinya, pesta pernikahan itu bukan pesta penikahan ibunya, tapi semata-mata hanya untuk anak bontotnya yang penakut untuk kenal pada laki-laki, apa lagi hendak berpacaran. Akhirnya, sang anak berjodoh dengan lekaki pilihan sang ibu, dan hidup bahagia, persis gadis-gadis Madura yang ditunangkan oleh orang tua mereka, menikah dan berakhir bahagia.

Konten buku ini memang pas diresapi oleh generasi milenia, namun tak tutup kemungkinan, buku ini perlu dimiliki oleh siapa pun juga kalangan pembaca tua, buat cerita anak-anaknya sebagai pengantar tidur. Jelas sekali, bermanfaat sebagai kisah penuh inspiratif untuk meneguhkan iman kita bersama.

System.String[]