Resensi Buku Karnak Cafe (Najib Mahfudz)
Majalah Forum | Edisi 25-31 Agustus 2008 | Oleh Muhammad Husnil *
Era awal 70-an merupakan salah satu masa terburuk dalam sejarah bangsa Mesir. Sudah jatuh tertimpa tangga, demikian pepatah yang tepat untuk menggambarkan masyarakat Mesir kala itu.
Mesir seolah-olah jatuh setelah lepas dari revolusi 1952, ketika Gamal Abd Nasser dan Anwar Sadat memimpin Mesir secara otoriter dan despotik. Tak begitu lama usia revolusi, Mesir tertimpa tangga setelah kalah perang dengan Israel pada Juni 1967.
Kedua peristiwa tersebut mengakibatkan luka dalam benak penduduk. Namun, yang paling menyakitkan adalah kekalahan Mesir oleh Israel. Kekalahan tersebut memaksa masyarakat untuk menengok sejarah mereka jauh ke belakang. Bahkan mereka selalu dibayang-bayangi kebesaran masa lalu, yakni masa Khalifah Umar bin Khattab atau Rasul. Kekalahan Mesir dianggap sebagai kekalahan bangsa Arab secara umum. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan al-naksa (kemunduran).
Pelbagai carut-marut keadaan Mesir kala itu diceritakan kembali dengan apik oleh Najib Mahfudz dalam al-Karnak. Nama Najib Mahfudz merupakan jaminan dalam sastra Arab kontemporer: hingga kini belum lagi ada sastrawan dari negara Arab yang meraih nobel sastra.
Minum kopi, membaca koran, menulis, dan diskusi di kafe merupakan kegiatan favoritnya. Dari pelbagai catatan salah satu kafe favoritnya adalah kafe Riche yang berada di pusat kota Kairo. Semenjak 1963 setiap Jumat petang di selasar kafe ini digelar diskusi yang pesertanya berasal dari beragam kalangan.
Kafe bukan hanya tempat pertemuan ide yang senada, bahkan ia tempat bagi ide yang bertentangan. Dengan begitu diskusi menjadi kian hidup. Lebih dari itu, Najib menjadikan kafe sebagai kanvas untuk melukis suasana Mesir secara umum sebagaimana terlihat dalam novel ini.
Bermula dari hanya niatan memperbaiki jam, tanpa sengaja pencerita masuk ke Kafe Karnak. Di sana ia bertemu pemilik sekaligus daya tarik kafe, Qurunfula. Sejak itu, Kafe Karnak menjadi tempat singgah dan bersantai setiap kali si pencerita beroleh kesempatan.
Di sana ia menemukan fakta menarik: kafe itu merupakan tempat berkumpulnya aktivis ekstrem dan berpandangan provokatif. Di sana mereka bisa membicarakan sebuah isu dengan berteriak atau berbisik, terserah. Secara antusias mereka membahas revolusi 1952, tentara Mesir yang bergerak ke Sinai pada 1967, juga tak lupa nestapa kekalahan Mesir pada Juni 1967.
Namun, suatu hari terjadi peristiwa ganjil: Hilmi Hamada, Zainab Diyab, dan Ismail al-Syaikh menghilang secara misterius. Beberapa hari kemudian terdengar kabar bahwa mereka ditangkap. Padahal, mereka pendukung setia revolusi. Tak ada informasi tentang keberadaan ketiga pengunjung setia kafe itu.
Sekian lama dinanti dan dalam keadaan para pengunjung yang setengah tak percaya, mereka kembali ke kafe itu pada suatu sore. Kafe kembali riuh. Namun, ketika seseorang bertanya ke mana selama ini, mereka enggan menjawabnya. Seolah mereka tengah memikul beban besar nan berat.
Dengan menggunakan pencerita tunggal sertaan (first person participant narrator), Najib mencoba mengungkap benak setiap karakter utama novel ini. Satu tokoh mendapat porsi satu bab (Qurunfula, Ismail, Zainab, dan Khalid Safwan). Khalid adalah kaki-tangan pemerintah yang berwenang menangkap ketiga pemuda itu. Hilmi Hamada belaka yang tak mendapat sorotan khusus. Konon menurut selentingan, di naskah awal Najib menyertakan obrolan pencerita dengan Hilmi. Setelah terbit bagian itu hilang. (Mungkin seperti beberapa bagian Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari yang terpaksa “dihilangkan”).
Layaknya psikolog ulung, si pencerita mampu “memaksa” setiap tokoh untuk mengungkap semua hal, bahkan yang paling rahasia sekalipun. Dari percakapan itu diketahui bahwa Zainab dan Ismail dibebaskan dengan menggadaikan persahabatan: mereka berdua menjadi mata-mata untuk mengawasi Hilmi, sahabat karib mereka.
* Muhammad Husnil adalah pegiat Forum Muda Paramadina
___________________________
DATA BUKU:
Judul buku : Karnak Cafe
Penulis : Najib Mahfudz
Penerjemah : Happy Susanto
Penerbit : Pustaka Alvabet, Jakarta
Cetakan : I, Februari 2008
Tebal : 180 halaman