Resensi buku Surat-surat John Lennon karya Hunter Davies
Koran Tempo | Senin, 01 Juni 2015 | EH Kartanegara
“John Lennon tidak pernah berbelit dalam menulis surat. Cukup sering suratnya disertai gambar acak, dan kau akan tahu bahwa dia sedang mengirim hatinya kepada seorang teman,” demikian Yoko Ono, istri John Lennon, menuliskan dalam Prakata buku yang dilengkapi dan diperindah dengan banyak foto, tulisan dan coretan tangan, serta nukilan puisi John Lennon ini.
Ya, membaca buku yang disusun kompak dan rapi dalam 23 bagian ini, pembaca tak hanya menikmati ekspresi hati dan pikiran, nukilan- nukilan biografi, potongan puisi, aforisme, kehangatan hubungan John dengan orang-orang dekat maupun penggemar yang bahkan tak dikenalnya. Lebih penting lagi adalah visi hidup John sebagai seorang pemusik yang—menurut banyak kritikus musik —"telah mengubah dunia". Lewat Imagine, misalnya, sebuah anthem perdamaian paling dirindukan orang di seluruh dunia—melebihi lagu kebangsaan mana pun—siapa yang tak ingat akan penulisnya; John Lennon?
Dari 285 surat yang berhasil dikumpulkan Hunter Davies dalam buku ini, terkuak salah satu keasyikan seumur hidup John: mengirim kartu pos dari perjalanannya. Kalau tidak menemukan kartu pos bergambar, tangan John mudah gatal untuk menggambarinya sendiri dengan berbagai coretan spontan yang ekspresif, intim, lucu, juga "jail". Di samping tanda tangannya yang sangat khas, dia paling sering menggambar wajahnya sendiri- -banyak juga gambar bugil dia merangkul Yoko Ono—yang, setelah dia meninggal, menjadi ikon khas John Lennon yang sangat terkenal di seantero dunia.
Hunter Davies —penulis resmi biografi The Beatles — menukil kegembiraan John saat mendapatkan selembar kartu pos bergambar mobil Rolls-Royce hitam yang catnya sudah diubah kuning warna-warni psikedelik. Kartu pos itu ia tulis sebagai penghormatan kepada Paman Norman (ayah tiri Liela, sepupu John) yang tinggal di Liverpool, Inggris, kampung halaman John dan The Beatles. Saat itu (1979) John tinggal di New York, AS.
Kisah kartu pos itu, demikian Hunter menuliskan, sejatinya merupakan isyarat kerinduan John pada kampung halaman dan nostalgia saat-saat manis bersama Beatles. Hunter tahu, John tak hanya sangat hafal luar-dalam mobil mewah yang cuma satu- satunya di dunia itu. Mobil jenis limusin Tur Phantom V dengan nomor registrasi FJB 111C itu dibeli pada 1965, ketika Beatles di puncak kejayaan.
Pada 1977, saat John dan Yoko terbelit pajak di AS, mobil itu diserahkan ke negara—melalui Museum Cooper-Hewitt di Smithsonian Institute—sebagai ganti pembayaran pajak US $ 250 ribu. Setahun kemudian, museum merilis kartu pos bergambar bekas mobil John itu. Pada 1985, lima tahun setelah John meninggal, Smithsonian melelang mobil itu di Sotheby's seharga US $ 2,3 juta, mobil paling mahal. .
Serba mahal, surat-surat dan barang-barang yang pernah disentuh John jadi benda-benda memorabilia berharga tinggi. Upaya Hunter mengumpulkan kembali ratusan surat John dari tangan pemiliknya di banyak negara bukan kerja mudah. Belum lagi soal izin mereproduksi dan kepentingan publikasi, harus ada izin ketat dari pemiliknya yang secara hukum dilindungi undang- undang hak cipta—sebagian besar ada di tangan Yoko Ono.
Liku-liku cerita menghimpun kembali ratusan surat John, tak pelak, menjadi kisah perburuan harta karun atau artefak yang menarik. Di balik selembar surat, kartu pos, atau sekadar secarik kertas berisi coretan tangan John, berumur puluhan tahun dan sudah berpindah-pindah tangan pemiliknya, tersimpan "rezeki" tambahan sambung-menyambung sebelum akhirnya berhenti di tangan pengelola sebuah museum.
Seorang penerima surat John pada awal dekade 1960-an, menurut Hunter, dengan susah-payah bertahun-tahun melacak kembali surat yang diam-diam telah dijual oleh ayahnya karena bisnisnya pailit itu. Surat itu ternyata dimiliki seorang kolektor yang tak bermaksud menjualnya kembali. Ada beberapa penggemar yang menyimpan surat-surat John dalam "kotak aman" di bank, membingkainya dalam almari kaca khusus yang digembok rapat-rapat. Lebih "gila" lagi, tak sedikit penggemar fanatik yang memperlakukan surat John layaknya azimat.
Memang, ada suatu risiko yang niscaya pada siapa pun yang oleh publik disanjung-puja sebagai idola. Terlebih bagi seorang John Lennon yang di kalangan tertentu dianggap "nabi musik pop". Di balai-balai lelang besar, barang-barang apa pun yang berbau John Lennon membuat mata banyak orang melotot saking mahalnya. Selembar surat tulisan tangan John bertanggal 23 Maret 1968, misalnya, dibeli seorang kolektor pada 1995 dengan harga £ 4.000.
Adapun isi pikiran John dan segala gagasan tentangperubahan menuju perdamaian dunia-baik lewat musik maupun tulisan-tulisannya-telah j auh melampaui apa yang sekadar materi. John Lennon, The Beatles, dan berbagai kelompok kaum muda yang menyebut diri “generasi bunga”, “hippie”, adalah bagian dari dunia yang diguncang kegelisahan karena ancaman perang, tekanan industrialisasi, kerakusan raksasa kapitalis. Dan kepicikan materialisme. Masih ingat semboyan Make Love, Not War, Give Peace a Chance, juga protes pada kesumpekan zaman yang melahirkan musik dan berbagai gerakan seni psikedelik era 1960-1970-an yang gemanya masih terdengar oleh generasi sekarang?
Dalam buku ini, gairah perdamain dunia itu masih nyaring digemakan lewat surat John untuk Beth (No. 71): "Perdamaian yang melampaui semua pemahaman" --sebuah renungan religius seraya menyebut-nyebut Yesus, Buddha, Muhammad, dan juga Tuhan. Seperti ditulis Hunter, surat-surat John adalah bentuk komunikasi intim dengan banyak orang; lewat kata-kata, bukan hanya dengan musik, yang akan terus bergaung ke masa depan.