Resensi buku 1453: Detik-Detik Jatuhnya Konstantinopel ke Tangan Muslim karya Roger Crowley
Radar Surabaya | Minggu, 13 Desember 2015 | Al Mahfud
Kota Konstantinopel, (sekarang Istanbul) menyimpan sejarah besar penakhlukan pasukan Islam atas kekaisaran Romawi Timur (Byzantium). Kota ini menjadi kota Kristen selama 400 tahun dan memiliki kelebihan alamiah dari segi geografis. Pada abad ke-5, tembok-tembok tanah dibangun dan membuat kota yang tumbuh di atas perbukitan ini nyaris tak bisa diserang jika hanya mengandalkan kekuatan ketapel tempur waktu itu. Tembok sepanjang 12 mil melindungi kota ini.
Merunut sejarahnya, Byzantium atau Konstantinopel berulangkali mendapat serangan bangsa pengembara Turki. Dan serangan umat muslim pada 1453 M merupakan puncak dari sejarah panjang penyerangan yang dikisahkan Roger Crowley dalam buku ini. Peristiwa tersebut menjadi titik tumpu Abad Tengah yang kemudian beritanya menyebar ke seluruh penjuru dunia Muslim dan Kristen.
Pada tahun 630, pasukan Muslim tiba di Byzantium. Mereka mengepung banyak kota dan akhirnya Damaskus jatuh, disusul Yerusalem. Pada 641, Mesir menyerah, dan Armedia pada 653. Dalam jangka dua puluh tahun, kerajaan Persia runtuh dan beralih masuk Islam. Namun, Konstantinopel yang menjadi dambaan selama berabad-abad belum ditakhlukkan. Pada 669, Khalifah Muawiyah melepaskan pasukan amfibi besar untuk menyerang Konstantinopel. Namun, Muawiyah akhirnya terpaksa menyepakati genjatan senjata tanpa syarat selama 40 tahun pada 679 karena pasukan Arab diserang mendadak dan dihancurkan di Pantai Asia.
Roger mengisahkan penyerangan demi penyerangan antara armada Muslim dengan Byzantium dengan teliti dan cermat, terutama dalam memandang sumber sejarah yang ada. Misalnya, pada episode kekalahan besar yang dialami pasukan Muawiyah tahun 679 tersebut. Menurutnya, penulis sejarah mengetengahkan episode ini sebagai bukti bahwa “kekaisaran Romawi dilindungi Tuhan”. Namun, bagi Roger, hal itu lebih karena kekaisaran Romawi waktu itu dijaga teknologi baru: pengembangan bom api Yunani (hlm 13).
Sang Penakhluk
Momentum kemenangan pasukan Muslim baru terjadi beratus-ratus tahun kemudian. Tepatnya pada 1453, dalam pimpinan Sultan Mehmet II. Roger menggambarkan momen ketika Sultan Mehmet memasuki kota Konstantinopel dengan segala kebesaran dan kemenangan, yang kemudian menyebabkan ia dikenang dalam bahasa Turki dengan gelar Al-Fatih (Sang Penakhluk). “Sultan masuk melalui gerbang Charisian dengan menunggang kuda, diiringi para wazir, ulama, panglima perang, prajurit, yang semuanya berjalan kaki. Bendera Islam yang berwarna hijau dan bendera kesultanan yang berwarna merah dikibarkan ketika arak-arakan itu berderap memasuki lengkung gerbang”.
Menurut Roger, setelah potret-potret Kemal Ataturk, momen tersebut bisa dikatakan sebagai citra paling banyak dikenang yang terekam dalam puisi dan lukisan-lukisan sejarah Turki. Referensi yang kaya dan ketekunan mencermati data-data dari sumber sejarah yang beragam menjadikan kisah yang dihadirkan Roger dalam buku ini menjadi begitu memikat. Narasi sejarah menjadi hidup dan karakter setiap tokoh di dalamnya digambarkan dengan kuat. Maka tak berlebihan jika Noel Malcom (Sunday Telegraph) menyebut apa yang disuguhkan buku ini sebagai salah satu cerita paling menarik dalam sejarah dunia.