Resensi Buku Shalahuddin Al-Ayyubi Karya John Man
Lampung Pos | Minggu, 23 Juli 2017 | Teguh Afandi
John Man membuka buku ini dengan sebuah hipotesa megah, tanyakan pada siapa saja di Mediterania Timur, siapa pahlawan terhebat mereka dan jawaban hampir pasti yang didapatkan adalah Shalahuddin. (hal.1) Atau oleh dunia Barat disebut sebagai Saladin. Pertanyaan ini kemudian membuka halaman demi halaman kisah yang diakui oleh dunia Islam dan Barat tersebut.
Shalahuddin lahir di Tikrit, Iraq dan di usia tahun dibawa Ayyub, ayahnya pindah ke Baalbek, Lebanon. Ia hidup di tengah dua kontradiksi Islam di kala itu. Di satu sisi, Islam sedang mengepakkan kegemilangan dalam berbagai bidang. Ilmu pengetahuan, sastra, teknologi, bahkan dunia kesenian. Namun di satu sisi, bibit perpecahan Islam diam-diam tersimpan. Semasa Shalahuddin muda, perpecahan Syiah-Sunni memiliki dimensi politik, di Kairo dan Baghdad, masing-masing dengan khilafah sendiri, dan masing-masing meyakini kebenaran sendiri. (hal.20) Di tengah ironi demikian, kecerdasan dan pikiran kritis Shalahuddin terasah.
Konflik antara Syiah dan Sunni, kemudian diperkeruh oleh konflik antara Arab dan Barat, membuat suasana Shalahuddin sedikit runyam. Hal ini pula yang kemudian membuat ia menolak saat diminta sang paman, Syirkuh, untuk menjadi ajudannya. Sifat sang paman yang bertolak belakang dengan ayahnya membuat Shalahuddin kecil enggan untuk ikut dalam barisannya. Ia tidak tertarik lantaran sudah melihat dan merasakan sendiri arti perang terutama perihal penderitaan orang lain dan kerugian yang dialami pribadinya sendiri.
Shalahuddin menjadi pemimpin Mesir pada Maret 1169. Kekuasaan tersebut disebut bukan merupakan ambisi Shalahuddin, sebagaimana yang dicontohkan oleh Ayyub ayahnya. Jabatan harus diterima dengan rendah hati, karena di setiap tindakan seorang pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban dan juga ada banyak kepentingan rakyat yang kudu dinaungi.
Shalahuddin al-Ayyubi menyatukan Suriah dengan Mesir, kemudian membangun Dinasti Al-Ayyubiyah dengan dirinya sendiri sebagai sultannya yang pertama. Tidak lama kemudian, ia dapat menggabungkan negeri An-Nubah, Sudan, Yaman, Maroko, Mosul, dan Hijaz ke dalam kekuasaannya yang besar.
Prestasi terbesar Shalahuddin ialah bagaimana ia berhasil memimpin pasukan untuk merebut kembali Yerusalem. Pada 30 September 1183, Shalahuddin memimpin 30.000 pasukan muslim merebut Yerussalem. Pasukan Kristen dsebanyak 17.000 di bawah pimpinan Guy de Lusignan. (hal.199)
Salah satu taktik yang dipergunakan Shalahuddin ialah memancing pasukan Kristen untuk keluar dari benteng. Shalahuddin tahu betul kekuatannya akan lumpuh bila justru menyerang ke dalam. Maka Shalahuddin memancing mereka keluar. Dan perang tersebut menjadi perang salib besar yang dicatat sejarah dunia.
Shalahuddin sosok pahlawan dan pemersatu Islam, pemimpin yang menghancurkan Tentara Salib dan merebut kembali Yerusalem, dikagumi baik oleh pengikut maupn musuh. (hal.321)
Gaya kepemimpinan Shalahuddin dinilai para ahli sejarah sebagai leadership yang mitsaqon golidho, berada di pertengahan, yaitu menggabungkan keras sekaligus lembut. Shalahuddin bisa saja menerapkan pendekatan perang dan kekerasan terhadap kelompok syiah dan sunni kemudian secara terus menerus menyerang tentara salib. Namun itu tidak dilakukannya.
Kharisma Shalahuddin sebagai pemimpin yang cerdas dan lemah lembut membuat sosoknya semakin dikagumi. Terbukti ketika sang pemimpin menerapkan pelurusan soal zakat. Ia mulai menegakkan zakat yang merupakan salah satu rukun Islam dan menghapuskan pajak yang tidak populer bagi para saudagar, pedagang, perajin, serta produsen yang kemudian disambut dengan gembira.
Shalahuddin al-Ayyubi merevitalisasi perekonomian dan politik Mesir, mengorganisasi ulang kekuatan militer, serta menggalakkan pendidikan dengan meresmikan dan menjadikan Universitas Al-Azhar sebagai pusat pendidikan ahlussunnah wal jamaah.
Perekonomian tumbuh, begitu pula perdagangan dengan orang luar negeri terutama Italia. Barang-barang dari Eropa dan wilayah Timur mengalir masuk, seperti rempah-rempah, kain, dan kayu. Jaminan nyata terkait dengan toleransi yang dimiliki Shalahuddin juga dibuktikan dengan masuknya cendekiawan Maimonides yang menjadi dokter pribadi Shalahuddin meskipun berbeda keyakinan.
Selain sebagai sultan dan panglima perang, Shalahuddin juga sebagai ulama dan sufi. Ia banyak mensyarah kitab hadis Abu Dawud dan melaksanakan ritual kesufian. Pada masa remaja, Shalahuddin belajar Agama Islam 10 tahun di Damaskus. Sejak usia belasan tahun, ia selalu bersama ayahnya di berbagai medan pertempuran melawan tentara salib dan menumpas para pemberontak terhadap Sultan Nuruddin Mahmud, yang juga berperan sebagai mentor politik Shalahuddin.
Shalahuddin lebih dari sekadar pahlawan dalam sejarah. Sosoknya abadi sepanjang hayat dan menjadi simbol harapan bagi dunia Arab-Islam seusai terpecah belah. Berabad-abad setelah kematiannya, di berbagai kota, dari Damaskus sampai Kairo dan di luarnya, hingga Semenanjung Arab dan Teluk, Shalahuddin terus jadi simbol ampuh bagi perlawanan agama dan militer terhadap Barat. Sebagai pejuang, pembangun, pelindung kesusastraan, dan teolog, dialah pusat memori Arab dan tipe ideal bagi persatuan negara Islam.
Biografi ini menghadirkan sosok Shalahuddin dan dunianya begitu detail dan hidup. Menggambarkan sang tokoh menuju kekuasaan, perjuangannya menyatukan faksi-faksi muslim yang terus bertikai, dan pertempurannya merebut kembali Yerusalem dan mengusir pengaruh Kristen dari tanah Arab, John Man mengeksplorasi kehidupan, legenda, dan warisan abadi sang pemersatu Islam sambil menarik signifikansinya untuk dunia saat ini.
Maka tidak aneh bila sosok Shalahuddin populer di Barat maupun Timur. Di Italia legenda Shalahuddin mengakar dan dijadikan salah satu rujukan sikap seorang pemimpin. Dia meninggal tanpa sepeser pun harta atas namanya sendiri dan tidak meninggalkan apa-apa kecuali kain kafan di badan. (hal.351) Bahkan Dante dalam bukunya Divine Comedy menempatkan Shalahuddin sebagai orang-orang non-Kristen berbudi luhur.
Pengakuan di kedua belah pihak atas sosok Shalahuddin ini setidaknya meneguhkan bahwa Islam bukan ajaran agama yang menebar kebencian kepada yang selain Muslim, juga bahwa akhlak terpuji tidak pernah memandang agama. Selama menjunjung kemanusiaan dan mulia dalam bertindak, dunia akan mencatat kebaikannya. Sebagaimana Shalahuddin atau Saladin ini.[]