Resensi Buku Asian Godfather Karya Joe Studwell
Koran Jakarta | Rabu, 9 Agustus 2017 | Arinhi Nursech
Buku ini menceritakan orang-orang yang sangat kaya di Asia pasca-Perang Dunia Kedua. Asia Tenggara semula terdiri dari lima negara: Singapura, Thailand, Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Hong Kong Menjadi kontributor tenggara. Pada 1996, setahun sebelum permulaan ‘krisis finansial Asia’ mengubah wajah ekonomi kawasan, majalah Forbes merilis orang terkaya. Ada delapan pengusaha Asia Tenggara di antara 25 teratas dunia dan 13 di antara lima puluh teratas.
Inilah barisan terdepan para godfathers Asia yang memiliki harta pribadi lebih dari empat miliar dollar AS. Mereka adalah Li Ka Shing, Robert Kuok, Dhanin Chearavanont, Lim Sieo Liong, Tan Yu, dan Kwek Leng Beng. Di belakang mereka ada taipan-taipan lebih kecil, dengan harta bersih satu sampai tiga miliar dollar AS (halaman xii).
Sebagian godfathers Asia memang terlibat dalam penyelundupan komoditas-komoditas lunak dan keras. Yang agak jarang, obat bius dan senjata. Aktivitas-aktivitas ini sering melibatkan dunia bawah tanah kriminal Asia, triad Tiongkok, preman Indonesia, dan seterusnya. Inilah fakta kehidupan para taipan. Penggunaan istilah godfathers dalam buku ini bertujuan merefleksikan tradisi-tradisi paternalisme, kekuasaan laki-laki, penyendirian, dan mistik yang benar-benar menjadi bagian dari kisah para taipan Asia.
Judul itu juga lebih dari sindiran kecil, sebagaimana Mario Puzo, sang pengarang asli Godfather bermaksud menunjukkan bahwa ada mitologi lain yang besar tumbuh di antara para taipan Asia. Sementara itu, untuk para godfathers, dikemukakan, mereka elite yang tidak khas. Mereka aristokrat ekonomi bekerja sama setengah hati dengan elite lokal.
Secara kultural, para godfathers adalah bunglon berpendidikan bagus, kosmopolitan, menguasai lebih dari satu bahasa. Pemerintahan yang tersentralisasi kurang meregulasi kompetisi. Namun, terlalu meregulasi akses pasar melalui lisensi yang restriktif dan tender nonkompetitif. Ini dengan sendirinya akan membuat para kapitalis pedagang berhasil naik ke puncak dengan mengarbitrase inefisiensi-inefisiensi yang diciptakan politisi.
Kecenderungan itu diperkuat di Asia Tenggara oleh meluasnya keberadaan ‘demokrasi yang dimanipulasi.’ Seperti terjadi di Singapura, Malaysia, dan Indonesia di bawah Soeharto. Lanskap ekonomi kontemporer Thailand, Malaysia, Indonesia, Filipina, Singapura, dan Hong Kong dibentuk oleh interaksi dua kekuatan sejarah: migrasi dan kolonialisme.
Meski para sejarawan telah memberi perhatian besar pada dampak budaya Tiongkok di Asia, migrasi ke kawasan tenggara dari orang Tiongkok, Persia, Arab, dan India benar-benar mengambil pelajaran berbeda. Kaum migrant bersedia mendekati bentuk-bentuk lokal yang dominan (halaman 5).
Buku dibagi ke dalam tiga segmen besar. Bagian satu berisi tentang godfather zaman dulu. Bagian dua tentang menjadi godfather, yang kemudian dibagi lagi menjadi empat bab. Bagian ketiga berisi tentang godfather masa kini. Mereka mempertahankan yang berharga. Ini dibagi dalam dua bab.
Buku juga menyajikan sepak terjang dan sisi gelap para tokoh godfather dari Thailand, Malaysia, Indonesia, Hong Kong, Macau, hingga Singapura. Tak hanya itu, buku juga melampirkan catatan referensi.