Sinar Keteladanan Nabi Muhammad

Cetak

Resensi Buku Samudra Keteladanan Muhammad Karya Nurul H. Maarif

Lampung Pos | Jumat, 23 Juni 2017 | Teguh Afandi


Dalam buku 100 Orang Paling Berpengaruh di Dunia, Michael H. Hart menempatkan Nabi Muhammad sebagai orang paling berpengaruh dengan urutan nomor 1. Meski diakuinya, Heart akan menerima banyak kontroversi atas pemilihan sosok Muhammad tersebut. Namun dalam penjelasannya, bahwa Muhammad dianggap sebagai pemimpin agama yang bahkan ketika sudah wafat, masih ada jutaan ummatnya yang terus mencintai dan mengikuti ajarannya.

Buku Samudra Keteladanan Muhammad ini tidak sekadar merangkum sirah atau sejarah Nabi Muhammad. Namun penulis, merangkum petikan-petikan pelajaran yang bisa kita terapkan di kehidupan sehari-hari. Terlebih di tengah suasana keberagamaan di negeri ini yang mulai sering saling sikut dan sindir kepemahaman. Buku ini mengurai lengkap perjalanan hidup Rasulullah Muhammad SAW sekaligus mengungkap karakteristik dan kepribadiannya. Beliau mampu mengubah wajah dunia yang berperadaban dalam waktu sangat singkat.

Salah satu kisah yang menarik adalah bagaimana Muhammad berperan sebagai penengah ketika terjadi konflik perebutan perihal siapa yang berhak meletakkan hajjar aswad. Kabilah dan suku di Arab merasa lebih unggul dan punya hak sepenuhnya untuk meletakkan batu penting dalam kakbah tersebut. Namun Muhammad memiliki cara lain untuk menyelesaikan konflik tersebut, yakni dengan meletakkan hajjar aswad dalam sebentang kain, dan meminta pemuka setiap kabilah memegang kain dan meletakkan bersama-sama. Dari sinilah, Muhammad kemudian mendapatkan gelar al-amin, Yang terpercaya bahkan sebelum didaulat sebagai Nabi dan oleh kabilah yang kemudian kelak memusuhinya.

Kisah keteladanan Muhammad yang menandakan kesantunan ialah saat Muhammad tentang hukuman bagi pezina yang berada di luar umatnya. Muhammad kembali dipercaya sebagai penengah situasi.

Tak serta-merta beliau bersikap egois karena dipilih sebagai pemutus masalah. Pada kasus pezina di kalangan umat lain, ia ditanya tentang hukuman apa yang layak diberikan. Muhammad SAW pun lantas minta diperdengarkan perihal hukum perilaku tersebut yang terkandung dalam Taurat.

Pribadinya yang bisa dipercaya membuat kaum mana pun tidak sungkan untuk meminta pertolongannya. Pun dengan sifat lainnya seperti lemah lembut dalam bertutur kata, juga selalu mengedepankan musyawarah untuk menyelesaikan persoalan. Karena itu, banyak sahabat dan masyarakat yang nyaman berada di sekeliling Muhammad SAW.

Buku yang ditulis Nurul H Maarif ini juga mengisahkan bagaimana Muhammad SAW tidak hanya menilai seseorang dari satu sisi, harus ada keseimbangan antara dunia dan akhirat yang menjadi tanggungan dari setiap orang. Hal itu disampaikan nabi saat menerima kedatangan rombongan tamu yang berasal dari pedalaman ke Madinah.

Mereka bercerita tentang salah seorang ahli ibadah di daerahnya, salatnya rajin dan khusyuk, iktikafnya tak mengenal waktu, pun dengan zikirnya yang tiada henti. Masyarakat pun menilai kegiatan ritual yang dilakukan orang tersebut sebagai kegiatan paling mulia.

Hal utama yang lantas ditanyakan Muhammad SAW ialah perihal kehidupan dunianya, bagaimana dengan kehidupan dan kecukupan nafkah bagi keluarganya. Mendengar pertanyaan tersebut, rombongan tersebut menjawab merekalah yang menanggung kecukupan hidup keluarga sang ahli ibadah.

Dengan santun dan lembut, Muhammad SAW justru mengucap bahwa mereka (kelompok yang datang kepada Muhammad SAW)-lah yang lebih baik daripada pria yang gemar beribadah tanpa lelah. Rupanya Rasulullah SAW memiliki alasan atas ucapannya. Bagi beliau, apakah jika pria yang selalu beribadah tersebut terbebani oleh urusan dunia seperti anak dan istri, lantas masih tetap bisa tekun beribadah. Selama ini, pria tersebut bisa beribadah dengan nyaman dan tekun karena masyarakatlah yang menciptakan kondisi demikian.

Bagi Rasulullah SAW, harus tetap ada keseimbangan antara dunia dan akhirat, dengan tetap memprioritaskan kepentingan akhirat. Seseorang yang fokus hanya mengejar dunia, otomatis akan melupakan akhirat, pun sebaliknya yang fokus mengejar akhirat telah menyalahi fitrahnya sebagai khalifah yang telah diberi mandat untuk mengelola bumi Allah SWT dengan sebaik-baiknya. Apabila menjadi orang kaya, kekayaannya bisa berguna untuk kepentingan orang banyak. Dan, jika menjadi penguasa, hendaknya kekuasaannya untuk kemaslahatan rakyat.

Sinar Keteladanan

Dalam satu subbab yang berjudul ‘Bagimu Agamamu, Bagiku Agamaku’ diceritakan tentang pertemuan baik Rasulullah SAW dengan orang-orang yang berbeda agama. Mulai kabar kenabiannya yang justru didapat dari dua orang pendeta, yaitu Pendeta Buhaira dan Pendeta Waraqah, Muhammad SAW juga menjadikan sahabatnya seorang nonmuslim sebagai penunjuk jalan saat melakukan hijrah dari Mekah menuju Yatsrib (kemudian disebut Madinah). Hubungannya dengan umat lain berjalan layaknya hubungan kekerabatan, dan dilandasi dengan sikap saling percaya.

Pun dengan rambu-rambu agama Islam yang tidak membenarkan adanya pemaksaan dalam beragama, karena agama merupakan urusan individu. Jika sifat Rasulullah SAW ini bisa diteladani dan diterapkan, hubungan yang harmonis di antara masyarakat akan semakin menguat.

Nabi Muhammad dengan mudahnya membagi kasih sayang pada siapa pun tanpa memandang latar belakang, pun dengan dirinya yang tak pernah marah apabila pribadinya dicaci dan dihina kecuali Islam yang dihina, kerap mendahulukan musyawarah sebagai langkah utama penyelesaian masalah, bukan malah main hakim sendiri. Ia tak sungkan mendengar pendapat orang lain, bahkan yang berbeda keyakinan dengannya.

Buku ini menjadi kaca atas keadaan akhir-akhir ini, di mana orang beragama justru kerap menjatuhkan dan menjelekkan orang lain. Bila Muhammad SAW manusia dengan sinar keteladanan paling terang saja, tak sekali pun mencontohkan perbuatan keji. Lantas dari siapa kita mencontoh sikap kasar dan gemar memaki?